Memahami Empat Pokok Kebijakan Kemendikbud tentang Merdeka Belajar

Assalamualaikum,


Hari ini, 11 Desember 2019, Kemendikbud menyosialisasikan kebijakan baru. Mas Nadiem, begitu beliau disapa, memaparkan kebijakan Merdeka Belajar bersama seluruh Kepala Dinas Pendidikan se-Indonesia.
Empat Kebijakan Baru Menteri Pendidikan Nadiem Makarim Merdeka Belajar


4 Kebijakan Merdeka Belajar ini terdiri dari USBN, UN, RPP, dan PPDB. Kebijakan ini merupakan arah pembelajaran kedepan yang fokus pada arahan Presiden Joko Widodo dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia.



Kebijakan USBN


Arah kebijakan pada penyelenggaraan USBN adalah satuan pendidikan, sekolah itu sendiri. Artinya USBN diselenggarakan hanya oleh sekolah. Penyelenggaraan ini diharapkan agar guru dan sekolah dapat lebih komprehensif dalam menilai kompetensi siswa. Sebab hanya guru yang lebih mengetahui kompetensi siswanya masing-masing.

Kebijakan ini muncul karena UU Sisdiknas memberikan keluasan bagi sekolah dalam menentukan kelulusan, akan tetapi USBN membatasi keluasan itu. Selain itu, Kurikulum yang ditetapkan secara nasional -- Kurikulum 2013 -- merupakan kurikulum berbasis kompetensi. Sehingga perlu adanya assesment secara holistik agar dapat mengukur kompetensi anak.

Ujian yang diselenggarakan bisa dalam bentuk tes tertulis dan/atau bentuk penilaian yang lebih komprehensif. Seperti portofolio dan penugasan.

Kebijakan baru ini diyakini sebagai bentuk upaya Mas Nadiem dalam mengembangkan SDM berkualitas melalui proses pembelajaran. Bukan pada hasil. Lebih pada kecakapan bagaimana siswa mampu memiliki kecakapan yang dibutuhkan zaman.

Di lain kesempatan, Mas Menteri juga pernah menyampaikan bahwa materi pembelajaran tidak terlalu penting dibandingkan kecakapan siswa dalam mengolah informasi, berpikir kritis, berkolaborasi, sehingga menjadi kreatif dalam menghadapi ekonomi digital. Sedangkan konten/materi akan selalu dipelajari ulang (relearning) setiap 5 tahun sekali karena perkembangan dunia. Itu pun jika seseorang memiliki minat pada bidang yang ia geluti.

Apalagi kita hidup di zaman dimana begitu cepat pengetahuan dan keterampilan semakin usang. Kita dituntut memiliki kemampuan belajar yang adaptif, progresif, cepat, dan berkelanjutan.  Begitu juga dengan pendidikan. Assessment yang  diharapkan adalah assessment yang mampu mengukur perkembangan kemampuan itu.

Nampaknya, penerapan kebijakan ini akan membiasakan siswa dan guru dalam membudayakan kecakapan itu sejak dini. Apalagi pernyataan beliau akan mengalihkan alokasi dana USBN untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran.

Kebijakan UN


Saya kira kebijakan ini untuk satuan pendidikan jenjang menengah (SMP dan SMA sederajat). Akan tetapi arah kebijakannya sama dengan USBN dimana ujian nasional diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter (SuKar). Kompetensi yang diukur adalah kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), Kemampuan bernalar memggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Selama ini UN dianggap cenderung menguji penguasaan konten, tidak pada kompetensi penalaran. Materi UN yang terlalu banyak juga malah lebih fokus menilai aspek kognitif siswa, belum menyentuh karatker secara menyeluruh. Belum lagi UN dianggap sebagai indiaktor keberhasilan siswa sebagai individu. Padahal UN seharusnya berfungsi sebagai pemetaan sistem mutu pendidikan nasional.

Pelaksanaan ujian (AKM dan Survei Karakter) ini akan dilakukan oleh siswa pada pertengahan jenjang sekolah. Jenjang SD akan dilaksanakan di kelas 4, SMP akan dilaksanakan di kelas 8, dan jenjang SMA di kelas 11. Penilaian ini bertujuan agar mendorong guru dan sekolah meningkatkan mutu pembelajarannya.

Dasar pelaksanaan ujian ini adalah hasil PISA dan TIMSS. Dimana survei PISA mengambil sampel siswa usia 15 tahun untuk diuji kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains. Sedangkan TIMSS menggunakan sampel siswa yang berada di pertengahan jenjang pendidikan. Survei PISA dan TIMSS sering digunakan untuk mengevaluasi kualitas pendidikan di dunia dan membandingkan prestasi pendidikan siswa di seluruh dunia. Hasil kedua survei ini menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia terlampar jauh di posisi terbawah sehingga membutuhkan strategi pembelajaran yang dapat mengejar ketertinggalan itu.

Misi Presiden Joko Widodo untuk Pendidikan salah satunya adalah mempersiapkan generasi Indonesia yang memiliki karakter dan kompetensi masa depan. Dilihat dari kedua kebijakan di atas, kompetensi masa depan diinterpretasikan melalui kebijakan mutu pembelajaran. Bukan pada hasil pembelajaran. Sedangkan untuk mengetahui generasi yang berkarakter memang lebih tepat diasesmen dengan Survei Karakter. Sebab karakter terbentuk bukan dalam waktu yang singkat, tetapi berkesinambungan.

Kebijakan RPP


RPP merupakan skenario pembelajaran seorang guru dalam mendesain kegiatan pembelajaran di kelas. Mas Menteri menilai bahwa keberadaan RPP yang berlembar-lembar tidak terlalu signifikan pengaruhnya terhadap proses pembelajaran. Malah, waktu dalam penulisan RPP akan memangkas waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Format RPP yang disederhanakan dengan memangkas beberapa komponen saja. Yang terpenting dalam RPP itu ada 3 komponen yang harus ada. Yaitu tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.

Munculnya kebijakan ini memberikan angin segar bagi guru yang merasa keberatan dengan kehadiran format RPP. Tidak hanya RPP sebenarnya, administrasi lainnya pun seakan menyiksa guru karena lebih menyita waktu dibandingkan waktu mengajar di kelas. Akan tetapi, RPP yang memiliki kelengkapan komponen sebenarnya menunjukkan adanya kesiapan guru dalam mempersiapkan dan mengevaluasi pembelajaran.

Apapun polemik itu, penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif agar dapat memberikan kesempatan guru memanfaatkan waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri.

Kebijakan PPDB


Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi masih diberlakukan. Hanya saja, kebijakan baru ini mengakomodir perbedaan situasi daerah masing-masing. Kebijakan PPDB ini memberikan kewenangan daerah untuk menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi.

PPDB dengan sistem zonasi bertujuan memberikan akses pendidikan berkualitas dengan mewujudkan Tripusat Pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) dengan bersekolah di lingkungan tempat tinggal. Namun, kebijakan baru mengenai PPDB dengan sistem zonasi lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.

Selain penyetaraan peserta didik dalam bersekolah, kebijakan PPDB juga diikuti dengan pemerataan jumlah guru. Dengan memberlakukan redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru. Pemerataan guru tidak hanya diberlakukan bagi guru PNS saja. Bisa jadi, pemerataan guru juga diikuti dengan pemerataan guru honorer.



Postingan ini merupakan interpretasi/pemahaman kami dalam memahami kebijakan Menteri Pendidikan. Sumber materi ini adalah slide presentasi Menteri Pendidikan Nadiem Makarim dalam menjelaskan Merdeka Belajar bersama Kepala Dinas Pendidikan seluruh Indonesia. Saran dan Kritik dapat Anda sampaikan dalam pemahaman ini sehingga pemahaman dan arah kebijakan baru dapat dipahami seutuhnya oleh kita, kaum pendidik. Salam literasi.

Tertanda: Ade Andriansyah, S.Pd.SD (Guru SDN Ratujaya 1)

Post a Comment for "Memahami Empat Pokok Kebijakan Kemendikbud tentang Merdeka Belajar"